Latar Belakang
Kita mengetahui bersama jika pandemi COVID-19 merupakan hal yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Ada banyak virus yang mengancam dunia pada 20 tahun terakhir ini, tetapi belum ada yang pernah sangat mematikan seperti COVID-19 dengan kemampuan transmisi virus yang juga sangat cepat. Sejak pandemi COVID-19 resmi diumumkan oleh pemerintah Indonesia, tidak hanya kegiatan ekonomi saja yang berhenti, tetapi dunia pendidikan pun terkena imbasnya dan mengalami suatu turbulensi yang begitu hebatnya (Khan, 2020). Semua pemegang kepentingan di dunia pendidikan gelisah dan masuk dalam suatu peristiwa yang penuh ketidakpastian.
Kekhawatiran utama pada situasi ini sebenarnya ada pada bagaimana setiap anak dengan berbagai latar belakangnya itu dapat memperoleh pendidikan yang semestinya. Masa-masa awal pandemi adalah masa-masa yang tersulit bagi semua pihak. Tidak hanya untuk para pendidik, tetapi juga untuk para orang tua. Selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2020) dimana dalam penelitiannya ditemukan jika sistem yang baku dalam mengawasi pelajar, siswa dan guru dalam menjalankan proses belajar melalui jarak jauh belum ditemukan. Secara akademik, penyesuaian komponen kurikulum pun segera dilakukan dan pelaksanaanya diputuskan untuk dilakukan dengan metode pembelajaran jarak jauh. Namun demikian konsep “Pembelajaran Jarak Jauh” pun diartikan lewat beragam cara oleh banyak kalangan.
Seiring perkembangan, dua tahun sudah tercatat sejak diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar hingga istilah yang terbaru yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, akhirnya pemerintah memutuskan untuk memperbolehkan kembali penyelenggaraan sekolah tatap muka secara terbatas. Dalam masa transisi ini, sekolah-sekolah di Indonesia kini telah diperbolehkan lagi untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran tatap muka di sekolah walaupun dengan jumlah murid yang terbatas dan dengan protokol kesehatan yang ketat. Berita ini sungguh menjadi angin segar bagi setiap pihak di dunia pendidikan. Keputusan ini adalah hal yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama baik oleh sekolah dan oleh para pendidik khususnya.
Namun demikian, seperti halnya pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh pada tahun sebelumnya, pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas pun dirasa tidak memiliki panduan yang tegas, khususnya terhadap strategi dan metode apa yang perlu dipakai untuk dapat mengakomodasi berbagai kemungkinan belajar di tengah situasi pandemi yang masih belum pasti ini. Berbagai sekolah mencoba-coba beberapa pendekatan dan salah satunya adalah dengan pendekatan Hybrid Learning.
Hybrid Learning dan Tantangannya
Secara umum, konteks pendekatan Hybrid learning dilakukan sebagai jalan tengah yang diyakini dapat mengakomodasi peserta didik yang memiliki keterbatasan dalam Pembelajaran Jarak Jauh namun memiliki keinginan yang kuat untuk dapat masuk ke sekolah. Sementara itu, bagi peserta didik lainnya yang masih khawatir dengan situasi pandemi COVID-19, masih diberikan kesempatan untuk tetap dapat mengikuti pembelajaran dari rumah. Ide pendekatan belajar ini harus diakui baik, namun dalam pelaksanaannya masih perlu ditinjau ulang dan memiliki banyak sekali kekurangan, terlebih lagi pada efektifitas belajar dan kemampuan guru dalam menyesuaikan metode ajarnya terhadap pendekatan Hybrid Learning.
Dalam pandangan kalangan para pendidik, khususnya bagi mereka yang memiliki peran di pendidikan pada anak usia dini, pembelajaran tatap muka adalah cara yang paling efektif untuk dapat membangun relasi dan fokus peserta didik. Karena hanya dengan pembelajaran tatap muka akan tercipta ruang interaksi terbangunnya relasi guru dan peserta didik mengembangkan potensi kognitif, psikomotorik dan afektif (Mansyur, 2020). Oleh karena itu, adanya kesempatan pembelajaran tatap muka terbatas disikapi dengan antusiasme yang tinggi oleh para pendidik dan juga institusi sekolah.
Namun demikian, pada saat yang bersamaan, nuansa berbeda terlihat pada penyelenggaraan pendidikan di kelas atas. Antusiasme peserta didik di usia remaja dalam mengikuti pembelajaran tatap muka sudah pudar dan cenderung apatis. Bagi mereka, pembelajaran secara luring bukanlah sebuah opsi. Situasi ini jelas menggambarkan bagaimana kebiasaan belajar peserta didik yang nyatanya pun sudah berubah secara signifikan tanpa disadari sebelumnya. Kebiasaan belajar ini merupakan dampak dari penggunaan gawai yang merupakan syarat pembelajaran daring. Dimana akhirnya, penggunaan gawai yang berlebihan pada anak usia sekolah justru menimbulkan masalah pada proses belajar, mulai dari penurunan konsentrasi pada anak, sulitnya melakukan komunikasi, kurangnya respon pada saat orang tua mengajak berbicara dan tidak aktifnya anak-anak saat di sekolah dalam mengikuti pelajaran (Yang, Liu, & Tan, 2020)
Pada dasarnya, pembelajaran Hybrid Learning memiliki kemiripan dengan metode pembelajaran Blended Learning, dimana lewat pendekatan Hybrid Learning kita dapat melihat usaha untuk mengintegrasikan teknologi dalam kegiatan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dapat terpenuhi secara efektif dan efisien. Dengan Hybrid Learning, menurut Jun Xiao dan kawan-kawan (2020), perlu dimungkinkan adanya interaksi aktif meskipun dilakukan dalam ruang lingkup virtual. Di lain sisi ide utama dalam pembelajaran Blended Learning adalah untuk melakukan kombinasi dari berbagai strategi pembelajaran mulai dari teknologi yang berbasis web, teknologi e-learning, pemanfaatan multimedia, pembelajaran daring hingga pembelajaran tatap muka pada waktu yang bersamaan. (Das, 2021)
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah para pendidik sudah siap dan familiar dengan metode ini? Jawaban lantang dari pertanyaan ini adalah belum. Semua pihak pada saat ini masih meraba-raba tentang teknis pelaksanaan Hybrid Learning. Bahkan ada sebuah hasil analisis efektivitas penggunaan model pembelajaran Hybrid Learning di sekolah tingkat atas yang menyatakan bahwa metode ini dinyatakan tidak efektif (Dermawan, 2021). Senada pula dengan (Pamungkas, 2013) dimana hasil penelitian menunjukkan penerapan metode Hybrid Learning kurang cocok diterapkan pada bangku perkuliahan pada mata kuliah tertentu.
Meskipun demikian, Hybrid Learning jelas merupakan salah satu pilihan yang masuk akal saat ini, tetapi diperlukan sebuah kemauan besar dari semua pihak untuk mau berubah dan beradaptasi lagi atas hal yang baru ini. Semua pihak dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secepat-cepatnya agar dampak buruk “Learning Loss” yang dialami peserta didik selama ini tidak semakin memperburuk keadaan dunia pendidikan secara umum (Xiao, Lin, & et al., 2020).
Salah satu tantangan terbesar kita bersama saat ini adalah bagaimana kesempatan ini dapat dipakai oleh para pemangku kepentingan untuk memusatkan kembali fokus peserta didik terhadap tujuan pembelajarannya. Para pendidik perlu memikirkan dan juga mempertimbangkan bagaimana teknis pelaksanaan pembelajaran yang dapat mengakomodasi proses kolaborasi langsung yang terbatas namun nyata antar siswa yang hadir di sekolah dan yang ada di rumah.
Kerjasama Tiga Pilar Pendidikan
Hal ini bisa saja terbangun secara efektif jika ada peran serta aktif dan kolaboratif dari tiga pilar pendidikan yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat (Nuh, 2013). Dari sisi keluarga misalnya, orang tua pada saat-saat transisi ini perlu untuk memberikan dukungan moral bagi anak-anak dengan cara memberikan motivasi dan pengertian yang dilakukan terus menerus tentang pentingnya membangun komunitas nyata yang dapat dilakukan salah satunya lewat interaksi aktif di sekolah. Orang tua menjadi pilar pendidikan pertama bagi anak dan keluarga menjadi pilar yang sangat penting untuk membentuk karakter anak.
Sedangkan dari sisi sekolah, para pendidik juga perlu memiliki kemampuan untuk membangun suasana positif dan menyenangkan di sekolah dengan menyajikan suatu pembelajaran yang lebih bermakna dan melekat pada kehidupan keseharian anak-anak. Terakhir yang tidak kalah penting adalah peran serta masyarakat yang juga krusial yaitu perlunya meningkatkan kesadaran tentang pentingnya peran pendidikan bagi masa depan suatu bangsa yang dilakukan lewat penciptaan suatu lingkungan yang aman dan sehat bagi anak-anak yang akan kembali melakukan pembelajaran di sekolah.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia dan menjadi sebuah kebutuhan. Pendidikan pertama dan utama diperoleh dari kedua orang tuanya, selanjutnya diteruskan ke lembaga pendidikan formal maupun informal, dan dengan dukungan dari masyarakat sebagai tempat anak-anak kita mengaplikasikan pembelajaran mereka di kehidupan sehari-hari.
Dengan membangun sinergi yang baik dari setiap pihak, tentunya pembelajaran Hybrid Learning dapat menjadi lebih efektif lagi. Meskipun pelaksanaan Hybrid Learning masih jauh dari kata sempurna, namun pilihan ini adalah pilihan rasional yang dapat kita ambil saat ini. Diperlukan ketegasan dari pemerintah dan sekolah sebagai pemangku kepentingan yang utama tentang bagaimana masa depan pendidikan anak-anak akan dibangun di tengah pandemi ini. Semoga pandemi ini segera cepat berakhir
References:
Mr. Ganjar Mulyadi, M.Pd.
Sulung Mardiko, S.Pd.
————————————————————————————————————–
Looking for world-class education with a global curriculum in Bandung?
Contact our admission officer for the latest update and promo.
WhatsApp: https://bit.ly/smn-marketing
Instagram: https://bit.ly/smn-instagram
Apply Now! https://smn.sch.id/admission/