Artikel Oleh: Ganjar Mulyadi
Sekolah Mutiara Nusantara, Primary Department
PENDAHULUAN
Di Indonesia, kita telah mengalami beberapa perubahan kurikulum pendidikan nasional. Sejak tahun 1947 hingga saat ini, setidaknya kita dapat mencatat ada 9 kali perubahan kurikulum yang telah dilakukan pemerintah lewat Departemen (atau Kementerian) Pendidikan dan Kebudayaan (Iramdan & Manurung, 2019). Secara umum, perubahan kurikulum pada sistem pendidikan nasional adalah hal yang lumrah dan sah. Hal itu terjadi karena kurikulum, pada dasarnya, perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan lingkungannya. Mari kita sadari, bahwa dunia yang kita tempati ini juga selalu berubah dari masa ke masanya. Setiap era memiliki tuntutan dan tantangannya tersendiri. Dunia menjadi semakin maju dan mulai memikirkan hal-hal esensial yang lebih memiliki nilai efektivitas dan efisiensi yang tinggi. Tuntutan yang berubah dari satu zaman ke zaman lainnya inilah yang diupayakan untuk dapat dijawab oleh perubahan kurikulum pendidikan nasional.
Tantangan suatu negara dalam hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat, pada saat ini sebenarnya datang utamanya dari situasi interdependensi. Situasi yang saling tergantung ini terjadi akibat arus deras globalisasi, terlebih situasi ini semakin dipercepat lewat adanya proses digitalisasi. Semua poros dan lini kehidupan di dunia ini, kini tak lepas dari proses digitalisasi dan ketergantungan satu dengan yang lainnya. Dengan melihat tantangan tersebut, maka bisakah kita bayangkan jika kurikulum di suatu negara tidak pernah diperbaharui? Apa yang kira-kira akan terjadi?
Oleh karena itu, perubahan juga harus dan perlu dirasakan di dunia pendidikan. Terlebih jika kita melihat perkembangan dunia kita saat ini, dimana tuntutan dunia kerja yang semakin absurd, fleksibel dan tidak berbentuk. Apakah 20 tahun yang lalu, pernah ada yang menduga jika seseorang dapat menjadi seorang YouTuber dan menghasilkan banyak uang? Lalu, apakah kita dapat mengetahui apa profesi dan keterampilan yang akan dibutuhkan pada 15 tahun yang akan datang?
Dari refleksi situasi di atas, maka dunia pendidikan dituntut untuk selalu berubah dan berupaya untuk mengembangkan suatu metode dan kurikulum yang menonjolkan kemampuan berpikir yang kritis, kreatif, dan mampu menyelesaikan masalah. Kemampuan berpikir yang seperti inilah yang seharusnya terus digaungkan dan menjadi pondasi pendidikan di manapun.
Lewat lulusan-lulusan peserta didik yang mampu berpikir kritis, kita dapat mengembangkan suatu generasi yang tidak gagap terhadap informasi dan mampu beradaptasi dengan perubahan (Rimiene, 2002). Begitu juga dengan kemampuan berpikir kreatif, kita dapat mengembangkan suatu generasi yang berfokus pada penciptaan alat dan barang yang ramah terhadap lingkungan namun membawa manfaat yang besar bagi kehidupan manusia.
Semua peristiwa dan gambaran besar tentang dunia ini, pada akhirnya menuntun kita pada suatu kesimpulan sesaat. Dari situasi di atas, kita dapat menyatakan jika keterampilan dan pengalaman yang dimiliki menjadi lebih penting bagi kesuksesan seseorang di masa yang akan datang, ketimbang seberapa baik Anda mampu menghafal secara detail suatu peristiwa. Tentu pernyataan ini tidak bermaksud untuk mengesampingkan proses pendidikan yang hanya berfokus pada hafalan, namun pernyataan in i berupaya untuk menekankan pentingnya membangun suatu pendidikan yang holistik.
KURIKULUM MERDEKA
Terdapat setidaknya 4 ideologi dalam pengembangan kurikulum. Pertama dipandang dari sisi Liberal Humanisme, yang mana dalam pandangan ini, kurikulum dibangun dan dikembangkan agar dapat membentuk suatu individu yang tidak tertinggal dari kelompok sosialnya, yang upaya akhirnya adalah agar mampu menciptakan kelompok sosial yang setara dan adil. Kedua dipandang dari sisi instrumental, dimana dalam pandangan in i kurikulum digunakan sebagai suatu alat atau produk yang dipakai agar mampu mengembangkan potensi dan keterampilan seseorang hingga pada tahap tertentu (Pleasance, 2016).
Sedangkan pada pandangan yang ketiga adalah dari sisi progresifitas, yaitu pandangan tentang usaha pengembangan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi individu untuk pengembangan keterampilannya dan memperkuat kondisi sosial masyarakat. Terakhir adalah pada sisi rekonstruksi, yang mana dalam pandangan ini kurikulum diadakan sebagai upaya untuk mengubah kondisi hidup masyarakat lewat pengembangan berpikir kritis agar mampu menghilangkan berbagai ketimpangan yang ada di tengah masyarakatnya (Pleasance, 2016).
Menurut Rakhmat Hidayat, kurikulum merupakan suatu instrumen penting dalam pendidikan, dimana peran kurikulum bukan hanya sekedar tentang kepentingan metode dan instruksional pembelajaran saja, tetap i juga berkaitan erat dengan relasi-relasi sosial dari berbagai pemangku kepentingan yang ada di belakangnya (Hidayat, 2011). Kurikulum menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 dapat diterjemahkan sebagai “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (Depdiknas RI, 2003). Lewat definisi tersebut, maka kita dapat memaknai jika kurikulum berkaitan erat dengan metode, isi, serta tujuan tertentu. Dalam hal ini, keseluruhan pengembangan kurikulum berfokus pada suatu pengkondisian untuk memberikan pengalaman belajar tertentu bagi setiap peserta didik guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Lalu apakah tujuan pendidikan yang diharapkan itu? Tujuan pendidikan nasional Indonesia, sesuai dengan yang tercantum di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak setiap peserta didik lewat pengembangan setiap potensi yang dimilik i agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab. Keseluruhan tujuan tersebut kemudian dimaknai dan diterjemahkan dengan implementasi berbagai mata pelajaran yang dikembangkan lewat berbagai isi dan keterampilan yang perlu dikuasai oleh setiap individu dari satu jenjang ke jenjang yang lainnya. Itulah secara umum, gambaran besar bagaimana suatu kurikulum dikembangkan hingga pada akhirnya menjadi panduan teknis pengembangan program kegiatan di setiap sekolah.
Pada bulan Februari 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia telah mengeluarkan suatu surat keputusan nomor 56/M/2022 tentang pedoman penerapan kurikulum dalam rangka pemulihan pembelajaran, yang mana dalam ketetapan tersebut pemerintah memutuskan jika setiap satuan pendidikan perlu mengembangkan kurikulumnya dengan prinsip diversifikasi agar sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Secara umum, kurikulum ini dikenal dengan istilah Kurikulum Merdeka, dimana roh dari kurikulum ini adalah untuk mempelajari hal-hal yang esensial dengan berbagai upayanya untuk menguatkan nilai- nilai Pancasila.
Kebijakan tersebut harus diapresiasi setinggi-tingginya, selain hal ini adalah upaya untuk menghilangkan standarisasi pendidikan, tetapi di lain hal juga sebagai upaya untuk menghargai keberagaman individu dan ciri khas dari setiap satuan pendidikan. Hal ini sebenarnya memang menjadi kaidah penting dalam usaha pengembangan kurikulum, karena menurut Stenhouse, kurikulum yang baik adalah suatu kurikulum yang fleksibel dan terbuka dengan berbagai penyesuaian (Stenhouse, 2006). Pemerintah sebagai otoritas hanya perlu menetapkan pengetahuan dan keterampilan apa yang relevan dan esensial, tanpa ikut mencampuri pengembangan konten kurikulum yang akan digunakan. Dengan demikian, sekolah akan mampu memiliki kemerdekaan untuk mengembangkan materi pembelajaran yang lebih luas, lebih dalam, sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan, dan kreatif di berbagai aspeknya.
KESESUAIAN DAN UPAYA PENYESUAIAN
Pemberlakuan Kurikulum Merdeka sebagai ketentuan yang perlu dijalankan oleh setiap satuan pendidikan yang ada di Indonesia, juga tentunya memiliki dampak tersendiri bagi sekolah-sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) seperti halnya Sekolah Mutiara Nusantara. Bagi Sekolah Mutiara Nusantara, instruksi penyelenggaraan Kurikulum Merdeka adalah sebuah angin segar tersendiri karena dinilai memiliki banyak kesesuaian d i berbagai aspek.
Sekolah Mutiara Nusantara, khususnya di tingkat Primary (PSKG – Elementary) yang telah menggunakan International Early Years Curriculum (IEYC) dan International Primary Curriculum (IPC) sebagai panduan utama dalam pengembangan program belajarnya, melihat kurikulum merdeka memilik i banyak kesamaan. Kurikulum merdeka maupun IEYC serta IPC memiliki sistem dan dinamika belajar yang mirip, ditambah lagi dengan kesamaan filosofi yang digunakan dalam pengembangan kurikulumnya.
Pada kurikulum merdeka misalnya, digunakan istilah fase belajar yang mengelompokkan kelas 1 dan 2 dalam satu fase, kelas 3 dan 4 dalam fase lainnya, dan kelas 5 serta 6 pada fase terakhir. Hal in i nyatanya juga dilakukan di dalam IPC dengan menggunakan istilah Milepost 1 (untuk kelas 1 dan 2), Milepost 2 (untuk kelas 3 dan 4), dan Milepost 3 (untuk kelas 5 dan 6). Tidak hanya itu, ada juga hal khusus lainnya yang juga serupa yaitu penggabungan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS).
Lebih lanjut, pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar masih menganut prinsip tematik, yang kini disesuaikan dengan tema- tema dalam profil Pancasila. Dimana dalam penerapannya anak-anak diajak untuk mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuannya secara konkret di dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Hal in i menjadi suatu upaya yang baik dan positif, terlebih bagi Sekolah Mutiara Nusantara dimana visi dan misi sekolah mengedepankan pentingnya rasa cinta dan bangga kepada negaranya.
Aplikasi profil Pancasila serta proses penyesuaian beban belajar memang menjadi kunci penyelarasan Kurikulum Merdeka dan Kurikulum IPC di Sekolah Mutiara Nusantara. Namun demikian, kami meyakini bahwa Kurikulum Merdeka tidak akan mempengaruhi proses belajar, metode dan konten yang sudah berlangsung di Sekolah Mutiara Nusantara selama ini.
KESIMPULAN
Secara umum, Kurikulum Merdeka menjadi satu kendaraan yang positif untuk diterapkan dan diintegrasikan di Sekolah Mutiara Nusantara, khususnya dengan melihat adanya kesesuaian filosofi antara IPC dan Kurikulum Merdeka. Kita perlu mendukung tujuan dari perubahan dan penyesuaian Kurikulum Pendidikan ini, khususnya sebagai upaya pemerintah untuk merawat kebhinekaan dan persatuan bangsa.
Kita perlu melihat proses integrasi ini sebagai suatu hal yang baik dan bukan sesuatu yang mengancam. Tentu terdapat tantangan di dalamnya, namun seluruh upaya dan motivasi yang melandasi perubahan kurikulum ini sangat baik. Kurikulum merdeka sebagaimana kurikulum IPC melihat bahwa hal-hal yang perlu dikuasai oleh seorang anak harus memiliki fokus, berpusat pada pengembangan keterampilan dan pemahaman, serta mengatur hal-hal yang bersifat esensial saja.
Meskipun begitu, sudah sebaiknya kita mampu mempersiapkan diri sebaik- baiknya agar implementasi di lapangan tidak menjadi salah kaprah. Perlu perubahan pola pikir yang drastis dari setiap pemangku kebijakan. Pemerintah Daerah juga perlu melihat ini sebagai suatu pemindahan otoritas pengembangan kurikulum dari dinas ke sekolah masing-masing. Sekolah dan Guru juga perlu meningkatkan kreativitas dan tidak terjebak pada rutinitas yang membuat anak-anak tidak bergairah dalam belajar. Guru perlu meningkatkan kreativitasnya, terutama dalam mengembangkan metode ajarnya. Perubahan ini juga perlu dilihat oleh orang tua sebagai sesuatu yang baik, didukung dengan merubah pola pikir pendidikan masa lampau, serta melihat proses pendidikan sebagai suatu proses yang panjang dan tidak berkesudahan. Integrasi kurikulum merdeka jelas merupakan sebuah kesempatan bagi Sekolah Mutiara Nusantara, karena kesamaan filosofi pendidikan di dalamnya, namun Sekolah Mutiara Nusantara juga perlu menganggap perubahan ini sebagai sesuatu yang serius dengan berbagai tantangan dan ekspektasi yang ada di dalamnya.
REFERENSI
Hidayat, R. (2011). Perspektif Sosiologi tentang Kurikulum. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,17 (2), 178-188.
Iramdan, & Manurung, L. (2019). Sejarah Kurikulum di Indonesia. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan; Vol. 5 No. 2, 88-95.
Pleasance, S. (2016). Inclusive Curriculum. In Wider Professional Practice in Education and Training (pp. 103-119). 55 City Road: SAGE Publications Ltd.
Rimiene, V. (2002). Assessing and developing students’ critical thinking. Psychology Learning and Teaching, 2(1), 17-22.
Stenhouse, L. (2006). Defining the Curriculum Problem. Cambridge Journal of Education, 5 (2), 104-108.